Film untuk Iko Uwais Bersinar
A
A
A
MILE 22 harusnya menjadi film laga Hollywood pada umumnya. Tak ada yang istimewa. Namun, bagi penikmat film di Indonesia, film ini jadi terasa spesial.
Penyebabnya tak lain tak bukan adalah ikut sertanya Iko Uwais dalam film ini. Bukan sebagai cameo atau pemain penggembira seperti saat dalam Man of Tai Chi (2013), Star Wars: The Force Awakens (2015), dan Beyond Skyline (2017), tapi sebagai karakter teramat penting, bersanding langsung dengan salah satu aktor termahal Hollywood, Mark Wahlberg.
Keterlibatan Iko dalam film ini juga teramat istimewa karena dia diminta langsung oleh sutradara sekelas Peter Berg. Berg dikenal piawai menggarap film drama hingga laga seperti Hancock (2008), Battleship (2012), Lone Survivor (2013), Deepwater Horizon (2016), dan Patriots Day (2016).
Bahkan, Berg, yang mengaku jatuh cinta pada film The Raid, mengatakan bahwa dia membuat Mile 22 untuk Iko. Jadi, tak heran kalau Berg juga meminta Iko sebagai koreografer kelahi dalam film ini. Peran Iko di sini adalah sebagai Li Noor, polisi lokal di sebuah kota fiksi bernama Indocarr, yang warganya berbahasa Indonesia.
Sebelum film mengenalkan karakter Noor, penonton akan disuguhi adegan kelompok paramiliter berkode Overwatch pimpinan James Silva (Mark Wahlberg) yang melakukan operasi gelap menyerbu rumah aman milik Rusia.
Tujuan mereka adalah menemukan bahan cesium yang bisa jadi senjata pemusnah massal. Penggerebekan berhasil, tapi cesium tak ditemukan. Noor yang rupanya menjadi informan dari operasi rahasia tersebut lantas datang langsung ke Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Indocarr untuk menemui penghubungnya ke pihak AS, Alice Kerr (Lauren Cohan).
Noor lalu mengajukan tawaran; dia akan memberi tahu lokasi cesium , tapi AS harus memberi suaka kepadanya. Bersamaan dengan itu, pemerintah di Indocarr juga memburu Noor karena menganggapnya sebagai pengkhianat. Dengan cerita seperti ini, tentu saja penonton akan melihat banyak adegan laga penuh kekerasan.
Banyak adegan tembak-tembakan yang didominasi oleh James dan anggotanya, termasuk Alice yang sangat cadas, baik sangat memegang senjata maupun saat berkelahi dengan tangan kosong. Untuk bagian ini, penonton akan melihat film laga khas Hollywood.
Sementara saat Iko terlibat perkelahian, tentu saja kita akan melihat adegan-adegan tarung dengan bumbu jurusjurus pencak silat seperti yang pernah penonton lihat dalam The Raid. Gerakan-gerakannya tak hanya tangkas, juga brutal penuh darah. Kadang-kadang terlalu ngeri untuk disaksikan. Salah satu scene perkelahian terbaikadalahsaat di ruangpemeriksaan, saat tanganNoordiborgol.
Ide perkelahiantersebut diambilBergdari adegan dalam film Eastern Promises (2007) yang dilakoniViggoMortensen, saat sang aktor harus berkelahidalamkondisi tanpabusana. Menyimak bagianbagian perkelahian yang dilakukan Noor, bisa dibilang Iko sukses menjalankan perannya sebagai karakter ahli jago bela diri sekaligus fighting choreographer.
Tak cuma itu, bahkan Iko-lah yang membuat film ini jadi menarik karena Mark Wahlberg nyaris tak memberikan apa pun selain akting standarnya seperti dalam film-film laga sebelumnya. Singkat kata, tanpa Iko, film ini akan jadi hambar.
Sayangnya, dengan keahlian Iko sebagai aset berharga dalam film ini, Peter Berg justru banyak menghabiskan durasi filmnya untuk menjelaskan atau merumitkan jalan cerita yang sesungguhnya sederhana saja.
Kalau saja Berg tak terlalu berambisi dalam storytelling-nya, terutama dalam setengah jam pertama, porsi adegan laga bisa digenjot lagi hingga tingkat maksimal, dan Mile 22 pun bisa jadi film yang jauh lebih mengasyikkan.
Penyebabnya tak lain tak bukan adalah ikut sertanya Iko Uwais dalam film ini. Bukan sebagai cameo atau pemain penggembira seperti saat dalam Man of Tai Chi (2013), Star Wars: The Force Awakens (2015), dan Beyond Skyline (2017), tapi sebagai karakter teramat penting, bersanding langsung dengan salah satu aktor termahal Hollywood, Mark Wahlberg.
Keterlibatan Iko dalam film ini juga teramat istimewa karena dia diminta langsung oleh sutradara sekelas Peter Berg. Berg dikenal piawai menggarap film drama hingga laga seperti Hancock (2008), Battleship (2012), Lone Survivor (2013), Deepwater Horizon (2016), dan Patriots Day (2016).
Bahkan, Berg, yang mengaku jatuh cinta pada film The Raid, mengatakan bahwa dia membuat Mile 22 untuk Iko. Jadi, tak heran kalau Berg juga meminta Iko sebagai koreografer kelahi dalam film ini. Peran Iko di sini adalah sebagai Li Noor, polisi lokal di sebuah kota fiksi bernama Indocarr, yang warganya berbahasa Indonesia.
Sebelum film mengenalkan karakter Noor, penonton akan disuguhi adegan kelompok paramiliter berkode Overwatch pimpinan James Silva (Mark Wahlberg) yang melakukan operasi gelap menyerbu rumah aman milik Rusia.
Tujuan mereka adalah menemukan bahan cesium yang bisa jadi senjata pemusnah massal. Penggerebekan berhasil, tapi cesium tak ditemukan. Noor yang rupanya menjadi informan dari operasi rahasia tersebut lantas datang langsung ke Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Indocarr untuk menemui penghubungnya ke pihak AS, Alice Kerr (Lauren Cohan).
Noor lalu mengajukan tawaran; dia akan memberi tahu lokasi cesium , tapi AS harus memberi suaka kepadanya. Bersamaan dengan itu, pemerintah di Indocarr juga memburu Noor karena menganggapnya sebagai pengkhianat. Dengan cerita seperti ini, tentu saja penonton akan melihat banyak adegan laga penuh kekerasan.
Banyak adegan tembak-tembakan yang didominasi oleh James dan anggotanya, termasuk Alice yang sangat cadas, baik sangat memegang senjata maupun saat berkelahi dengan tangan kosong. Untuk bagian ini, penonton akan melihat film laga khas Hollywood.
Sementara saat Iko terlibat perkelahian, tentu saja kita akan melihat adegan-adegan tarung dengan bumbu jurusjurus pencak silat seperti yang pernah penonton lihat dalam The Raid. Gerakan-gerakannya tak hanya tangkas, juga brutal penuh darah. Kadang-kadang terlalu ngeri untuk disaksikan. Salah satu scene perkelahian terbaikadalahsaat di ruangpemeriksaan, saat tanganNoordiborgol.
Ide perkelahiantersebut diambilBergdari adegan dalam film Eastern Promises (2007) yang dilakoniViggoMortensen, saat sang aktor harus berkelahidalamkondisi tanpabusana. Menyimak bagianbagian perkelahian yang dilakukan Noor, bisa dibilang Iko sukses menjalankan perannya sebagai karakter ahli jago bela diri sekaligus fighting choreographer.
Tak cuma itu, bahkan Iko-lah yang membuat film ini jadi menarik karena Mark Wahlberg nyaris tak memberikan apa pun selain akting standarnya seperti dalam film-film laga sebelumnya. Singkat kata, tanpa Iko, film ini akan jadi hambar.
Sayangnya, dengan keahlian Iko sebagai aset berharga dalam film ini, Peter Berg justru banyak menghabiskan durasi filmnya untuk menjelaskan atau merumitkan jalan cerita yang sesungguhnya sederhana saja.
Kalau saja Berg tak terlalu berambisi dalam storytelling-nya, terutama dalam setengah jam pertama, porsi adegan laga bisa digenjot lagi hingga tingkat maksimal, dan Mile 22 pun bisa jadi film yang jauh lebih mengasyikkan.
(don)